Deputi penindakan dan eksekusi KPK, Karyoto
Jakarta, Jurnas.com - Buronan kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan kartu tanda penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan Secara Nasional (e-KTP), Paulus Tannos sempat terlacak keberadaannya.
Deputi Penindakan KPK, Karyoto menyebut keberadaan Paulus Tannos terlacak di Thailand. Namun, ia mengaku ada kendala dalam penerbitan red notice melalui interpol.
"Kalau pada saat itu sudah (red notice terbit), yang bersangkutan betul-betul red notice sudah ada, sudah bisa tertangkap di Thailand," kata Karyoto kepada wartawan di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (25/1) malam.
Dia menjelaskan lamanya penerbitan red notice menjadi lika-liku penegak hukum dalam mencari buronan. Namun, dikatakan Karyoto, tak ada yang bisa disalahkan dalam hal ini.
"Kemarin Paulus Tannos nasibnya sudah bisa diketahui tetapi ada beberapa kendala yang bersangkutan ternyata proses penerbitan red notice-nya terlambat," kata Karyoto.
"Kita tak bisa menyalahkan siapa karena administrasi permohonan untuk red notice melalui Interpol Indonesia dikirim ke Interpol di Lyon. Di Lyon baru terbit dan disebar di seluruh dunia," tambahnya.
Karyoto pun menyesalkan lamanya proses permohonan perpanjangan red notice bagi Paulus Tannos.
"Yang dikiranya kita mudah ternyata hanya karena satu lembar surat. Karena apa? Pengajuan DPO itu red notice sudah lebih dari lima tahun ternyata setelah dicek di Interpol belum terbit. Kita enggak tahu apa sebabnya, apakah karena ada kesalahan upload dan lain-lain, kita enggak tahu," jelasnya.
Karyoto berharap pihak Interpol lekas memperbarui red notice bagi Paulus Tannos. Sehingga KPK bisa segera memburu Paulu Tannos.
"Tapi, kemarin sudah kita perbaiki semua, mudah-mudahan yang sudah diisued sebagai DPO akan secara otomatis pada waktunya akan terbit red notice secara internasional dari Interpol Lyon," ujarnya.
Diketahui, Paulus Tannos bersama tiga orang lainnya pada 13 Agustus 2019 telah diumumkan sebagai tersangka baru dalam pengembangan kasus korupsi KTP-el.
Kasus ini sebelumnya telah menjerat mantan Direktur Utama Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) Isnu Edhi Wijaya, anggota DPR RI 2014-2019 Miryam S. Haryani, dan mantan Ketua Tim Teknis Teknologi Informasi Penerapan KTP-el Husni Fahmi.
Empat orang itu disangkakan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Dalam konstruksi perkara, KPK menjelaskan ketika proyek KTP-el dimulai pada tahun 2011 tersangka Paulus Tannos diduga telah lakukan beberapa pertemuan dengan pihak-pihak vendor dan tersangka Husni dan Isnu di sebuah ruko di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Padahal, Husni dalam hal ini adalah ketua tim teknis dan juga panitia lelang.
Pertemuan-pertemuan tersebut berlangsung kurang lebih selama 10 bulan dan menghasilkan beberapa "output" di antaranya adalah SOP pelaksanaan kerja, struktur organisasi pelaksana kerja, dan spesifikasi teknis yang kemudian menjadi dasar untuk penyusunan harga perkiraan sendiri (HPS) yang pada tanggal 11 Februari 2011 ditetapkan oleh Sugiharto selaku PPK Kemendagri.
Tersangka Paulus Tannos juga diduga lakukan pertemuan Andi Agustinus, Johannes Marliem, dan Isnu untuk membahas pemenangan konsorsium PNRI dan sepakati "fee" sebesar 5 persen sekaligus skema pembagian beban "fee" yang akan diberikan kepada beberapa anggota DPR RI dan pejabat pada Kemendagri.
Sebagaimana telah muncul di fakta persidangan dan pertimbangan hakim dalam perkara dengan terdakwa Setya Novanto, PT Sandipala Arthaputra diduga diperkaya Rp145,85 miliar terkait dengan proyek KTP-el tersebut.
KEYWORD :Korupsi e-KTP Tersangka Paulus Tannos KPK Buronan